PWS09

Just another WordPress.com weblog

Umat Membutuhkan ‘Ulama Akhirat’

Pemilihan Presiden dan Wapres (Pilpres) 2009 akan digelar tidak lama lagi setelah pengumuman tiga pasangan capres-cawapres dalam beberapa pekan terakhir. Berbagai strategi dan cara digelar untuk meraih kemenangan. Yang menarik, setiap pasangan capres-cawapres merasakan kebutuhan dukungan dari ‘penguasa non-formal’ yang ada di tengah-tengah masyarakat. Mereka adalah para ulama, kiai, tuan guru, tengku dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh. Setiap menjelang Pemilu, termasuk Pilpres kali ini, mereka sering kedatangan tamu tim sukses pasangan capres-cawapres, atau bahkan langsung pasangan capres-cawapresnya.
Di sisi lain, ada sebagian orang dengan julukan kiai atau ulama bertandang ke kediaman pasangan capres-cawapres. Ada pula yang bertemu di luar ‘kandang’ masing-masing dengan cara menggelar satu acara atau agenda yang bertajuk ‘keumatan’. Pada pertemuan-pertemuan tidak resmi di tengah-tengah jamaah para kiai/ulama tidak jarang “pesanan politik” juga disampaikan. Targetnya tentu saja adalah menjajaki dukungan para tokoh umat ini, dan tentu dengan kompensasi.
Akibat dukung-mendukung capres-cawapres ini, tidak jarang hubungan silaturahmi menjadi renggang hanya karena masing-masing berbeda visi dan dukungan politiknya. Masing-masing pasangan saling mengklaim bahwa mereka pro-rakyat, sementara pasangan lain pro-asing (dengan julukan neoliberal). Padahal sebenarnya semua pasangan adalah pengusung liberalisme, hanya dengan kadar yang berbeda-beda. Ini adalah fakta yang tentu sangat memprihatinkan. Umat menjadi bingung dengan arah politik para ulama dan kiai mereka. Pasalnya, masing-masing kiai/ulama memiliki tujuan politik yang semuanya bisa dikemas dengan bungkus dalil agama. Sebagian kiai/ulama itu seolah menjadi makelar dagangan yang bernama “tahta”. Mereka mengabaikan fungsi, tugas dan tanggung jawab yang sesungguhnya dalam kehidupan sosial-politik.
Lantas apakah yang perlu direnungkan oleh ulama dan umatnya terkait dengan pemilihan pemimpin saat ini? Bagaimana tanggung jawab ulama dalam kehidupan politik dan bernegara? Sejauh mana peran dan fungsi ulama dalam proses perubahan menuju Indonesia yang bersyariah, yang baldat[un] thayyibat[un] warabb[un] ghafûr?

May 31, 2009 Posted by | Syari'ah | Leave a comment

SBY, Termiskin Tapi Saldo Terbanyak

INILAH.COM, Jakarta – Keseriusan capres-cawapres merebut kemenangan di Pilpres 2009 dapat dilihat dari anggaran yang mereka siapkan untuk kampanye. Bila dilihat dari saldo awal, sepertinya capres incumbent SBY adalah yang paling ambisius memenangkan pilpres. Tapi mengapa sebagai capres termiskin, SBY justru punya saldo kampanye terbanyak?
Dalam sejarahnya, capres incumbent tak ubahnya gula yang dikelilingi banyak semut. Dalam Pilpres 2004, pasangan capres incumbent Megawati-Hasyim Muzadi adalah pasangan yang paling banyak penerima sumbangan. Besarnya mencapai Rp 103 miliar. Disusul pasangan Wiranto-Wahid (Rp 68 miliar), dan SBY-JK (Rp 60 miliar), Amien Rais-Siswono (Rp 22 miliar), dan Hamzah-Agum dengan hanya Rp 2,7 miliar.
Kini sepertinya sejarah berulang. Tanda-tanda tersebut dapat dilihat dari saldo awal yang dimiliki capres incumbent SBY-Boediono sebesar Rp 20 miliar, tertinggi dibandingkan dengan capres lainya.
Angka itu disebutkan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati, di kantor KPU Pusat, Jakarta, Jumat (29/5). Sedangkan dua pasangan capres-cawapres lainnya, Mega-Prabowo sebesar Rp 15,5 miliar dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto memiliki saldo terendah sebesar Rp 10 miliar.
Situasi ini seperti terbalik bila dibandingan jumlah kekayaan para capres yang terangkum dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum lama ini. Cawapres Prabowo Subianto menduduki calon yang paling banyak memiliki kekayaan, sebesar Rp 1,7 triliun. Justru SBY merupakan capres yang paling sedikit kekayaan, yaitu sebesar Rp 7,14 miliar.
Namun Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampouw tidak kaget melihat SBY memiliki saldo awal yang banyak. Statausnya yang saat ini masih menjabat, sambung Jeirry, menjadikan banyak sumbangan yang masuk ke capres incumbent. “Dulu waktu Mega mencapreskan diri juga memiliki sumbangan terbanyak,” kata Jeirry kepada INILAH.COM, di Jakarta, Jumat (29/5).
Menurut bekas Koordinator Nasional JPPR ini, tren para pengusaha menyumbang capres incumbent memang telah jadi tradisi di setiap event pemilu, baik pemilu legsilatif maupun pemilu presiden. “Ini karena pengusaha memiliki kepentingan dengan incumbent. Dulu Grup Bakrie menyumbang di SBY-JK, ternyata dia terlibat di kabinet sebagai Menko,” ujarnya.
Merujuk laporan sumbangan capres-cawapres dalam Pilpres 2004, memang pasangan capres incumbent Megawati-Hasyim kala itu mendapat sumbangan terbesar dari badan usaha sebesar Rp 66 miliar. Angka ini tertinggi di antara capres lainnya. Badan usaha melingkupi perusahaan swasta non BUMN. Menariknya pula, pasangan Mega-Hasyim menerima sumbangan perorangan semuanya di atas Rp 5 juta dengan total Rp 34 miliar.
Data tersebut menjadi penegasan, capres incumbent memang memiliki pesona bagi para penyumbang terutama mereka orang kaya baik personal maupun intitusional perusahaan. Namun demikian, Jeirry mengingatkan, di incumbent pula peluang dana haram masuk. “Karena akses dana pemerintahan terletak di capres incumbent,” tegasnya.
Terkait dengan rekening para capres, Jeirry mendesak KPU untuk mengumumkan sumber dana penyumbang. Kendati tidak diatur oleh UU Pemilu Presiden, Jeirry menyarankan agar KPU membuat peraturan.
“Ini penting untuk tidak mengulang kejanggalan di pemilu legislatif lalu, di mana banyak dana siluman yang tercermin dari laporan dan realisasi belanja yang tidak sinkron. Ini juga langkah untuk pemilu yang transparan,” tegasnya.
Pernyataan serupa juga muncul dari Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Fahmi Badoh. Menurut dia, potensi masuknya dana haram justru berpeluang pada capres incumbent. “Aliran dana haram justru berpotensi masuk ke capres incumbent, ini harus diwaspadai,” katanya.
Pesona capres incumbent memang cukup terasa saat deklarasi pasangan SBY-Boediono 15 Mei lalu di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) Bandung, Jawa Barat. Acara yang meniru prosesi pengukuhan Barack Obama 2008 di AS tersebut konon menyedot biaya miliaran rupiah. Melalui incumbent pula, potensi politik ijon dengan pengusaha hitam bisa jadi terjadi. [inilah.com; 30/5/2009]

May 31, 2009 Posted by | Uncategorized | 1 Comment